Musim di hati ini selalu tak menentu. Kadang terlalu ceria, sering juga aku menjadi sangat pendiam. Ya, kini hatiku sedang menjadi menjadi hati yang pendiam. Aku duduk di lonteng bangunan setengann jadi ini. Kupandangi hijaunya panaroma pegunungan, yang seakan menjadi benteng yang mengayomi pondok kecil ini. Aku terdiam, lagi terdiam. Bukan untuk melamun atau mengkhayal, bahkan bermimpi. Kediaman ini sering membuat sahabat menjadi salah paham atas sikapku ini. Oo, kawan ... bukan maksud hati ini seperti begitu. Hati ini tidak marah. Tetapi bibir ini tak dapat mengungkapkan kode hati ini yang berucap. Hingga bibir ini tak mampu membuka dan mengatakan satu kata pun.
“Ya Alloh,.. hati ini jadi merasa sangat bersalah, ampuni hati ini Ya Alloh...”. batin ku menjerit.
Entah mengapa hati ini sampai melukai hati sahabat, apa kalu hati ini tiada yang yang menyapa. Bahkan sampai dikata orang. Ah, hati rasanya berkencamuk tak menentu, hancur bagai ditekan palu raksasa hati ini. Ah, merpati putih yang mendarat di seberang pandangan mataku ini menggugahku dari dunia ilusiku.
Merpati cantik milik putrabdari Ustadzku di pesantren ini, seakan mengingatku akan hidupku yang tengah ku jalani kini.
“Wahai merpati, sekiranya engkau dapat berbicara, aku kan meminta pendaptmu tentang hati ini. Kabarjan aku tentang sesuatu yang sedang ku rasa kini, wahai merpati...” Merpati itu ku hampiri. Tetapi dia kembali melayang saat dia mendapatiku mendapatiknya. Bibirku tersenyum melihatnya lepas landas.
“Andai ku miliki sayap, sudah pasti aku akan terbang bersamamu, wahai merpati, mengingati indahnya ciptaan alloh yang begitu menawan...” mataku sambil memandang ke arahnya.
“Ya Alloh,... Astaghfirullohal’adzim...Ya Alloh, jangan jadikan perkataanku ini tadi sebuah kekufuran atas nikmat-Mu kepadaku, wahai Dzat Yang Maha Indah dalam menciptakan segala sesuatu”. Aku melihat sekelilingku.
Aku masih menetap duduk di atas lonteng bangunan yang setengah jadi ini. Telingaku mendengar suara tawa, ada pula yang sedang menyenandungkan Ayat Al Qur’an di bawah bangunan sana. Ya, mereka adalah adik-adik kelasku, juga sahabat seperjuanganku. Memang tak ku sebut kakak kelasku, karena aku termasuk angkatan yang paling tinggi dari jenjang penuntut ilmu yang ada di pesantrenku ini. Tentang kakak kelasku, mereka telah meninggalkan aren pendidikan ini, menuju gerbangkehidupan yang lebih bermakna lagi. Mudah-mudahan Alloh selalu merahamti dan selau memberi petunjuk kepada mereka juga kita semua. Amien ya Rabb...
“Madza ta’malin, Al...” seorang sahabat menyapaku dari samping bangunan bawah, dirinya menyapaku dengan panggilan karibku, Alya.
Nama lengkapku adalah Fika Bintana Alya Qonita. Sebuah nama yang telah di berikan orang tuaku kepada diriku. Sebuah nama yang memiliki makna, Fika anak putri kami adalah perempuan yang taat. Kembali kesahabatku. Biasa, memang santriwan-santriwati di pesantren ini wajib menggunakan bahasa arab dan bahasa inggris. Aku membalas sapanya hanya dengan senyuman. Karena hati ini diriku menjadi sangat pendiam. Kupandangi langit barat, nampak ufuk sana matahari yang kian menguning, bahkan memerah. Murottal pun sudah di senandungkan melalui pengeras suara. Andai aku dapat menghambat waktu, pasti akan ku bendung waktu ini, karena aku masih terlalu betah untuk disini. Tetapi aku tak kuasa. Sungguh itu kuasa Tuhan, tiada siapapun yang kuasa selain Dia Yang Maha Kuasa. Dengan berat hati kulangkahkan kaki ini ke tempat yang telah ku hangatkan ini. Demi menunaikan kewajibanku kepada pondok ini juga pada Tuhanku , Alloh Yang Esa. Pagi ini, aku kembali terdiam. Sungguh aku bukanlah seorang yang pendiam. Namun kondisi hati ini teah mengubah haluan sikapku. Sahabt semakin penasaran heran yang meningkat. Sesekali aku tersenyum terpaksa kepada mereka, sebagai simbol bahwa aku tidaklah marah.
Kejadian itu terulang lagi. Bunga mekar di bawa sadarku, yang membawaku memasuki dunianya. Ah, dua orang putra itu terlalu asing dimataku.
“Duhai bunda, Alangkah Indahnya, bila nanti aku telah bersamamu dengan nyata. Bila nanti aku bersua dengan bahagia bersamamu. Aku merindukan hal itu bunda, aku selalu menanti”,desah salah seorang putra yang kutemui dimimpi itu. Menangis lantas berlalu. Hitam lagi seluruhnya. Ah, mimpi yang sungguh aneh, yang menjadi pikiranku hari ini. Ingin aku abaikan mimpi itu, tetapi aku tak kuasa, mimpi yang terlalu nyata untuk dibilang mimpi,hingga aku terdiam memikirkannya. Tanpa aku ceritakan kepada siapa pun, ku coba mencari jawaban dan menangkap sinyal kisah itu. Namun tak berujung juga pencarian itu.hingga hari seusainya. Yang justru kisah itu mendatangiku di alam yang sama, alam bawah sadar. Hatiku semakin risau, gundah gulana memikirkanya. Entah pertanda apa kisah itu, adakah sesuatu yang akan terjadi kepadaku? Mungkinkah itu baik, atau buruk? Semua menghilang lagi, hitam, masih begitu misteri. Tak banyak hal yang kulakukan untuk hari ini. Aku memikirkan peristiwa itu. Ya, aku terlalu bodoh untuk memahami kejadian dan tokoh dalam kisah itu.
“Ah, bunga metamorgana yang merekah dalam tidurku...Andai engkau dapat lebih jelas mengambarkanku...” Amboi...saat kulihat langit timur, disana nampak garis-garis lengkung berwarna-warni nan indah. Garis-garis cantik yang mampu menarik hati siapa yang memandangnya ternyata tak hanya aku yang menyaksikanya diluar sana, banyak pasang mata yang tengah tertuju padanya.
“Alya...alya...”teriak dina (seorang sahabatku di pesantren ini) mencariku.
“Antum dicari sama uhkti nida ! cepatlah turun!”
“ya...sebentar...!”
Pelangi oh pelangi, warna cerahmu membuat hati kami lebih indah, hati semakin merekah. Ya, setaip ada pelangi kami akan selalu bersama untuk menatapnya. Tidak pernah terasa sepi hati ini dalam kebersamaan seperti ini, hati ini jadi riang. Tapi, tak berapa lama denting telepon disamping kamar kami terdengar nyari.
Aku jawab teleponya, “Assalamu’alaikum....ini dengan siapa?”
terdengar dari seberang sana : “Wassalamu’alaikum...saya ingin bicara dengan Fika Bintana Alya Qunita, kelas XII..”
“ya, ini saya sendiri...”
“O...iki pa dhe’ ndo, sesuk mulih injih...”
“Wonten menopo sih pa dhe’...”
“Pokoke sesuk mulih..bakal tak jemputke sesuk...”
“Injih..”
“Nggih pun, Assalamu’alaikum...”
“Wa’alaikum salam..” Deg ! detak jantungku terasa terhenti, napasku mulai sesak, ku kembali terdiam.
*************
Kabut pagi mulai menyamar, menghilang diri. Bel masuk sekolah berdering, hari ini aku sekolah seperti biasa. Dengan rasa gelisah, aku mengikuti pelajaran sedikit rasa menanti kedatangan pak dhe aku. Hingga aku pulang sekolah beliau tak kunjung datang jua. Ketika matahari mulai “lingsir”, saat para santri usai dari masjid, nampak seorang lelaki paruh baya berdiri di depan pintu gerbang asrama putri. Ya, dialah orang yang ku nanti pak dhe aku.
Ku hampiri, katanya : “Sindho harusnya pulang malam ini ya...”
aku mengheran : “ada sebenarnya sih pak dhe...tetapi aku harus ijin dulu sama ustadzah...”
“ya..dimana beliaunya...?”
“disana” (sambil menunjuk tempanya ustadzah).
Kami mengampirinya dan alhamdulilah saya di ijinkan. Aku bergegas, sedang pak dhe menungguku didepan kamar. Aku berpamitan dengan teman-temanku. Aku dan pa dhe menuju rumah dengan bersepeda motor. Jam 8 malam, aku sampai dirumah. Di dalam rumahku perhatikan banyak orang berpakaian rapi duduk di sofa. Ku salami mereka . ada juga di sana Zain Fikri Al Mustofa, salah seorang ustadzku saat belajar TPQ Khozinatul Asror dulu. Kemudian aku menaruh tasku dikamarku terdengar suara ibu memanggilku untuk bergabung bersama mereka.
“ini ndho’... calon pendampingmu, namanya Zain Fikri Al Mustafa. Ibu mnerima Dia dan keluarganya untukmu, karena mereka pantas untukmu, dia menginginkanmu dengan halal, dia dia sungguh mencintaimu, dia meminangmu”.
Butiran air mata mulai membasahi pipiku. Dituruti ibuku, semua rasa berpadu satu. Ada bahagia ada khawatir. Kucoba memikirkan keunggulan darinya.
Dan akhirnya aku bertanya: “tapi bagaimana dengan sekolahku, Bu...?”
“Tenang, nak...kami tdak akan terburu. Kami menantimu siap menerima kami” kata ibu Zain.
Hujan mataku semakin menderas, dengan bismillah, aku meminta waktu kepada keluarga. Kemudian keluarga Zain memahamiku dan berpamitan. Sampainya diperjalanan, Zain dinasehati oleh Abahnya bahwa apabila seseorang waniata diam, dan meminta waktu, berarti dia menyetujui permintaan. Setelah itu pula Zain meminta turun dari mobilnya dan kembali kerumahku.
“Assalamu’alaikum...maaf Bu, saya hanya ingin menyampaikan nasehat Abah saya, bahwa seseorang wanita terdiam atas permintaan sesorang berarti dia menyetujui. Apakah itu yang ada dihati Alya, bu?”. Ibu tersenyum menagguk. Dia menangis dihadapan Ibu . aku keluar dari kamarku, aku dekati ibu, dan terus menangis. Saat itu juga dengan rasa harap atas Ridho-Nya danmengucapkan bismillah, aku terima cintanya . Mimpi yang dulu telah terjawab sudah. (Karya Dani Ayu Cahyani)
Share this article with your friends
Posting Komentar
Jangan berkunjung tanpa meninggalkan jejak.
- No Spam - No Phising - No Live Link
Salam Blogger Indonesia, Silakan Tinggalkan Pesan Agan disini... !!!