Santri Indigo adalah Komunitas Santri Berbudaya Teknologi yang merupakan kerjasama program CSR PT Telkom Indonesia Tbk dengan HU Republika.
Twitter Facebook Feedburner Google +1 youtube
www.santri-indigo.com
Selamat Datang di Portal Santri Indigo Cilacap
Home » , , » Extraordinary Love of Ordinary Men

Extraordinary Love of Ordinary Men

Penulis : Unknown | Jumat, 12 Oktober 2012

Menjelang hari H, Khusna masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Ayah dan Ibu, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Khusna. Mereka ternyata sama herannya. Kenapa? Tanya mereka di hari Khusna mengantarkan surat undangan. Saat itu teman-teman baik Khusna sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi. Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu. Tiba-tiba saja pipi Khusna bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Khusna terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata! Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Khusna yang pintar berbicara mendadak gagap. Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Khusna menyampaikan keinginan Al Fath untuk melamarnya. Arisan keluarga Khusna dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka. Kamu pasti bercanda! Khusna kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Ayah dan Ibu membuat Khusna menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Khusna bercanda. Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Khusna yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Khusna! Khusna serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Al Fath memang melamarnya. Tidak ada yang lucu, suara Ayah tegas, Ayah hanya tidak mengira Al Fath berani melamar anak Ayah yang paling cantik! Khusna tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Ayah barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Khusna tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan. Tapi Khusna tidak serius dengan Al Fath, kan? Ibu mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Ibu siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh? Khusna terkesima. Kenapa? Sebab kamu gadis Ayah yang paling cantik. Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus! Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur. Bakatmu yang lain pun luar biasa. Khusna sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau! Khusna memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Ayah, kakak-kakak, dan terakhir Ibu. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Khusna lontarkan. Khusna Cuma mau Al Fath, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak. Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Al Fath. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah. Tapi kenapa? Sebab Al Fath cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa. Bergantian tiga saudara tua Khusna mencoba membuka matanya. Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Khusna! Cukup! Khusna menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini? Sayangnya Khusna lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Al Fath. Barangkali karena Khusna memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Al Fath tampak 'luar biasa'. Khusna Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Khusna menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Al Fath. Di sampingnya Khusna bahagia. Mereka akhirnya menikah.

*****

Setahun pernikahan. Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Khusna, apa sebenarnya yang dia lihat dari Al Fath. Jeleknya, Khusna masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Al Fath agar tampak di mata mereka. Khusna hanya merasakan cinta begitu besar dari Al Fath, begitu besar hingga Khusna bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Khusna. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia. Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Al Fath pada Khusna. Nada suara Khusna tegas, mantap, tanpa keraguan. Ketiga saudara Khusna hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya. Khusna, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses! Khusna merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Al Fath. Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen. Tapi Al Fath juga tidak jelek, Kak! Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan? Al Fath juga pintar! Tidak sepintarmu, Khusna. Al Fath juga sukses, pekerjaannya lumayan. Hanya lumayan, Khusna. Bukan sukses. Tidak sepertimu. Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Al Fath. Lagi-lagi percuma. Lihat hidupmu, Khusna. Lalu lihat Al Fath! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu. Teganya kakak-kakak Khusna mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Khusna dan Al Fath sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Al Fath bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Khusna lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu, ketika Khusna memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Khusna cukup, maksud Khusna jika digabungkan dengan gaji Abang. Khusna tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik.. Sebaiknya Khusna tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Khusna dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Khusna cerah. Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia! Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Khusna. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting. Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Khusna di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Khusna besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Khusna memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak! Bisik-bisik masih terdengar, setiap Khusna dan Al Fath melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Khusna, bisik Ayah dan Ibu. Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik. Cantik ya? dan kaya! Tak imbang! Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Khusna belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari. Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Khusna masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Khusna mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Al Fath melukai hati Khusna, atau membuat Khusna menangis.

*****

Bayi yang dikandung Khusna tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya. Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Khusna. Harus segera dikeluarkan! Mula-mula dokter kandungan langganan Khusna memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Khusna. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil. Al Fath tidak beranjak dari sisi tempat tidur Khusna di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Khusna belum satu pun yang datang. Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Khusna tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Khusna per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali. Baru pembukaan satu. Belum ada perubahan, Bu. Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan. Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Khusna dan Al Fath berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi. Tigapuluh jam berlalu. Khusna baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset. Masih pembukaan dua, Pak! Al Fath tercengang. Cemas. Khusna tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya. Bang? Al Fath termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan. Dokter? Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar. Mungkin? Al Fath dan Khusna berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu? Bagaimana jika terlambat? Mereka berpandangan, Khusna berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Al Fath tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal. Pembiusan dilakukan, Khusna digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Khusna merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri. Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Al Fath bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir. Seorang dokter keluar, Al Fath dan keluarga Khusna mendekat. Pendarahan hebat! Al Fath membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Khusna dalam kondisi kritis. Ibu Khusna yang baru tiba, menangis. Ayah termangu lama sekali. Saudara-saudara Khusna menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka. Al Fath seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker. Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Khusna.

*****

Sudah seminggu lebih Khusna koma. Selama itu Al Fath bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Khusna dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang. Ibu, Ayah, dan ketiga saudara Khusna terkadang ikut menunggui Khusna di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Khusna dengan Al Fath. Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Al Fath bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Al Fath terhadap kantor tidak perlu diragukan. Begitulah Al Fath menjaga Khusna siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Khusna yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra.. Al Fath percaya meskipun tidak mendengar, Khusna bisa merasakan kehadirannya. Khusna, bangun, Cinta? Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik. Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Al Fath masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Khusna sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Khusna ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik, Khusna, bangun, Cinta? Malam-malam penantian dilewatkan Al Fath dalam sujud dan permohonan. Asalkan Khusna sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Khusna, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Al Fath. Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Khusna. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Al Fath tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan. Ia ingin melihat Khusna lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Khusna sudah tidur terlalu lama. Pada hari ketigapuluh tujuh doa Al Fath terjawab. Khusna sadar dan wajah penat Al Fath adalah yang pertama ditangkap matanya. Seakan telah begitu lama. Al Fath menangis, menggenggam tangan Khusna dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh. Asalkan Khusna sadar, semua tak penting lagi. Al Fath membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Khusna selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Khusna, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Khusna ke teras, melihat senja datang sambil memangku Khusna seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta. Ketika malam Al Fath mendandani Khusna agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Khusna selalu merasa cantik. Meski seringkali Khusna mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh? Tapi Al Fath dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Khusna, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Al Fath. Setiap hari Minggu Al Fath mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Khusna. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Khusna harus ikut. Anak-anak, seperti juga Al Fath, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Khusna. Begitu bertahun-tahun. Awalnya tentu Khusna sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Al Fath yang berkeringat mendorong kursi roda Khusna ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat. Lalu berangsur Khusna menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Khusna tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik. Baik banget suaminya! Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua! Khusna beruntung! Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya. Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam! Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Ayah dan Ibu. Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Khusna makin frustrasi, merasa tak berani, merasa? Tapi dia salah. Sangat salah. Khusna menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi? Dari teras Khusna menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka.. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan. Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Khusna menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya. Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Khusna.

*****

(Karya M. Rifa'i Aziz)


Share this article with your friends

Posting Komentar

Jangan berkunjung tanpa meninggalkan jejak.
- No Spam - No Phising - No Live Link
Salam Blogger Indonesia, Silakan Tinggalkan Pesan Agan disini... !!!

Tukar Link



Copy Paste - Copyright by SIC
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://www.santri-indigo.com/" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img src="http://2.bp.blogspot.com/--N-4ALq7hlQ/UzmVq36j58I/AAAAAAAABVI/p-zTAcA9xsI/s150/SI.png" /></a></div>

Bagi yang sudah pasang silahkan tinggalkan komentar