Santri Indigo adalah Komunitas Santri Berbudaya Teknologi yang merupakan kerjasama program CSR PT Telkom Indonesia Tbk dengan HU Republika.
Twitter Facebook Feedburner Google +1 youtube
www.santri-indigo.com
Selamat Datang di Portal Santri Indigo Cilacap
Home » , , » Pada-Mu Ku Titipkan Cinta

Pada-Mu Ku Titipkan Cinta

Penulis : Unknown | Jumat, 12 Oktober 2012

Metafora duka Seperti lembar-lembar sejarah Aku temukan lagi sendu itu dimata mu Dan pada jejak yang menapak Kembali aku bisu ; adakah senja yang tak berakhir..? Matahari yang kalah oleh waktu Malam yang menyerah pada tetes embun pagi Serupa kesedihan kita pula, terhapus Dan digores lagi Maka jika aku kalah nanti.. Tolong beri tahu ( pada air mata dan duka itu ) Bahwa cinta… masih purba dan satu…

****************

 “ Vi nggak mau ikut pleno. Males…..! Vi mau mengundurkan diri saja,” ujarku serius.

Tas eksport millennium di pundakku ku lemparkan ke atas sofa di ruang tamu.

“ Lho…. Kenapa, Vi..? pulang – pulang bukanya ngucapin salam, malah ngedumel. Ada masalah di kampus?” Rina, teman kost ku, menegur dengan tidak kalah serius.

Aku menoleh dengan wajah yang kusut.

“ kok cemberut?”

Aku duduk di bangku rotan di sebelah ku.

“ Habisnya kesel, sampai saya lupa ngucapin salam,” ucapku pelan sambil mempermainkan jemariku dengan resah.

Rina tersenyum bijak sambil mengangguk. “ Okey…! Now, can you tell me your problem, please?” The problem is…. Taufik.” Jawabku Kulihat Rina.

“ Ada apa dengan Taufik?” “Mmm….masalah, tentu saja.”

“ Iya…maksud saya, masalahnya bagaimana, sampai- sampai kamu heboh gitu?”

“ Yang heboh, tuh, temen-temen di kampusku, gara-gara aku menjadi sekretarisnya Taufik. Ada yang malah su’uzhan. Mikirnya yang nggak-nggak. Katanya aku sering berduaan dengan Taufik di ruang BEM. Taufiknya juga nggak mau ngejelasin. Udah gitu doi enjoy aja minta tolong ini itu ke aku. Ketikin ini lah, itu lah…! Kan aku yang malu Rin…” paparku berapi-api. Mataku terasa panas. Aku hampir saja menangis karenanya.

“ Lho…kamu nggak melakukan apa-apa selain tugas mu sebagai sekretaris kan?”

“ Ya iya dong, Mbak..”

“ So, what’s the problem, honey? Nggak usah dipikirin, deh.”

“ Segitu aja pesennya?” Rina tersenyum lagi.

“ Kalau kamu mau, ada baiknya kamu jelaskan pada teman-teman kamu tentang posisi dan tugas kamu sebagai sekretaris.”

“ Aku sudah katakana itu berkali-kali,Rin. Tapi, tetap saja nada-nada sumbang berkeliaran. Sebel! Gimana mau reda, sedangkan dari pihak Taufik kayaknya malah suka kalau ada…..”

“ Nah, ini dia, nih…yang su’uzhan….”

“Biarin! Pokoknya Vi nggak mau ikut pleno. Mendingan juga tidur.”

“Ya lah…jadi putri penidur.”

“Habis…aku mesti bagaimana Rin?”

“Jangan-jangan kamu Cuma ge-er,” ujar Rina.

Kali ini dengan melirik sedemikian rupa dalam maksud menggoda. Hmm,ge-er? Benar juga. Bisa jadi aku Cuma kege-eran.

“Cobalah bersikap biasa dan apa adanya, agar perasaan-perasaan semacam itu hilang dengan sendirinya. Dan untuk menjaga peluang dan celah-celah masuknya syaithan, berusahalah untuk berbagi amanah dengan yang lain.” Aku terdiam.

“Kalau kepepet, gimana? Dan lagi, kayaknya lebih banyak kepepetnya,deh,” sahutku.

“seandainya terjebak, segeralah keluar dari situasi itu.” Aku manggut-manggut.

”Kok diam saja?” Rina menegur ku.

Aku belum sempat menjawab ketika tiba-tiba Fitri,teman kost yang lain,memanggil dari ruang makan.

“Avi…!telepon buat kamu.”

“Dari siapa?!”tanyaku sambil siap-siap beranjak untuk menerima telepon tersebut.

“biasa…! Taufik!”

“Tuh kan, Rin…”Ujarku lemas.

“Cepetan!”teriak Fitri lagi.

”Telepon umum, tuh…!”

“Bilang saja aku belum pulang!” aku terduduk kembali.

“Lho,Vi?”Tanya Rina

”apakah untuk hal semacam ini kamu perlu berbohong? Lekas sana, terima telponnya,” lanjutnya lagi.

Fitri kembali berteriak, ”Hei…kasian,tuh, koinya Cuma tinggal satu." akhirnya dengan langkah malas aku menghampiri meja telepon dan meraih gagang horn.

“Hallo, assalamu’alaikum!”

“Wa’alaikumus salam…kok lama sekali? Saya Cuma mau minta besok kamu datang lebih awal. Masih banyak berkas dan catatan yang harus disiapkan untu pleno besok.Dan juga masih ada satu surat yang harus dikirim sore ini.Jadi,saya tunggu di sekertariat sekitar jam 16.00.bisa,kan?” Aku terdiam.bagaimana aku harus menolak?

“Hallo…kamu masih di situ,kan?”

“Eh,iya.mmmm…insya allah…!" sahutku dengan nada malas.

“kok sepertinya kamu sedang malas? kenapa ?sakit?” Aduh,Taufik.kamu ngga usah perhatian begitu,donk…,ucapku dalam hati,takut nanti rasa ge-erku semakin membengkak.

“Nggak.Cuma kecapekan aja.semalam saya begadang untuk kuis akutansi biaya tadi pagi.Kebetulan saya baru aja pulang,jadi belum sempat istirahat.”

“Oh,maaf kalau begitu.tapi tolong diusahakan,ya…? I need your help, please…,” ujarnya dari seberang sana. Nadanya memelas sekali.

“he-eh, deh…”ucapku akhirnya menyanggupi permintaanya.

“Okey jazakillah, ya, ukhti… Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumus salaam wa rahmatullah…” klik! Kuletakan gagang horn, dan beranjak memungut tasku yang tadi kulemparkan ke atas sofa.

Dengan langkah gontai aku melangkah kea rah kamarku yang berada di sebelah ruang tamu. Malam itu kuhabiskan dengan menimbang-nimbang pesan Rina. Sahabatku itu sangat bijaksana. Pandangan-pandanganya kurasa penuh kedewasaan. Ia hanya berpesan singkat padaku,”aku yakin kamu mengerti adab-adab dalam pergaulan.” Aku mengangguk yakin. Kalimatnya pelan,namun penuh penekanan. Kalimat itu juga mampu membangkitkan sugesti pribadiku. Hal ini membuat aku bersemangat untuk membuktikan bahwa kepercayaannya terhadapku tak akan aku sia-siakan. *************

Aku asyik memainkan jari-jariku di atas tuts kibor. Masih beberapa lembar lagi. Kulirik angka yang tertera di pojok kanan bawah layar monitor. Pukul 17.20 pm. Mudah-mudahan sang ketua berhalangan.Amiin… Aku berhenti sebentar sambil meneguk aqua dingin yang kuambil dari dispenser. Namun tiba-tiba aku menangkap bayangan orang lain terpantul di layar monitor. Ah, ternyata Taufik datang juga. Kini mengerjakan tugas dengan leluasa, hilang sudah.

“Assalamu’alaikum,” sapanya ketika sampai di depan pintu secretariat. Kemudian ia membuka sepatunya dan melangkah masuk ke dalam ruangan. Aku menahan nafas sebentar lalu menjawab salamnya. Kemudian pandanganku kembali ke layar monitor, melanjutkan pekerjaan ku yang terhenti sejenak.

“Maaf, aku telat,” lanjutnya yang ku biarkan tanpa tanggapan.

”Sendirian?” Aku mengangguk .

“Masih berapa lembar lagi?” lanjutnya.

“Lima, termasuk AD/ART,” jawabku sesingkat mungkin.

“Bagus. Kalau surat untuk Pudek II ?”

“Sudah. Saya taruh di meja.” Ia beranjak menuju meja kerjanya dan memungut selembar surat yang tadi aku buat. Suasana hening sejenak. Keheningan menyergap kami berdua dalam ruangan dingin ini. Namun tiba-tiba….. DUARR!!! Suara petir yang menggelegar mengagetkan ku. Ku lihat Taufik juga sempat terlonjak dengan suara menggelegar tadi. Astaghfirulloh…,” ucap kami nyaris bersamaan.

Perasaan ku semakin tidak tentram dan ku rasakan tangan ku mulai terasa dingin. Cuaca di luar sana terlihat tak bersahabat. Alloh, bantu hamba menenangkan perasaan ini…., do’aku dalam hati. Aku berusaha menenagkan pikiran dan perasaan ku yang tidak menentu. Aku benar-benar tidak bisa menikmati suasana ini. Ku perhatikan bayangan Taufik lewat monitor. Ia tampak tenang-tenang saja membaca buku nya. Agaknya ia tidak sadar kalau aku sedang mengamati dirinya. DUARR!!!! Kali ini suara petir lebih keras. Kembali aku istighfar. Petir kali ini lebih ku rasakan sebagai teguran Alloh terhadap rona-rona di hati ku.

“Apa yang telah ku lakukan, ya Alloh? Ampuni hamba….,” ucap ku pelan. Aku menghela nafas panjang. Dan seketika itu juga…. Splash….! Lampu padam. Ruangan yang tadi di terangi oleh neon sebesar sepuluh watt kini menjadi gelap. Hanya remang-remang cahaya sore yang gelap menembus melalui kaca jendela di belakang meja Taufik. “ innalillah… kenapa aku bisa ceroboh begini, sih?”

“Ada apa Vi?” Taufik mendekati ku yang sedang kebingungan.

“Yaa… bayangkan saja, sudah empat belas halaman, tapi aku lupa ngesave. Ngg… maaf, Fik,” ucapku takut-takut.

“Lalu?” bukan itu ucapan yang aku inginkan, gerutuku dalam hati. Sejenak aku melupakan perasaan galauku yang tadi sempat mengganggu, berganti dengan perasaan gugup. Tiba-tiba Mang Jana muncul di depan pintu dengan membawa senter.

“Maaf , Neng. Sekeringnya sengaja Mamang matikan, takut kesambar petir,” katanya ringan tanpa dosa.

“Aduh, Mamang… kalau mau ngapa-ngapain bilang dulu, kek. Vi kan lagi ngetik, Mang…. Hilang semua, deh, kerjaan Vi.“ Aku ber sungut-sungut kesal.

Aku tahu pasti, pipiku agak cembung saat ini, pertanda aku sedang menahan kesal.

“Maaf, Neng..maaf… Mamang nyalakan lagi, yah?” ia membujukku dengan logat sundanya yang kental dan kemudian berlalu dari hadapan ku. Aku terdiam sambil terus memandangi layar monitor yang kini berwarna hitam.

“Ya sudah, biar nanti ku bantu,” ucap sang ketua menghibur ku.

Aku tetap diam. Suasana kembali hening, sementara hujan di luar semakin deras. Sesekali terlihat kilat menyambar, membentuk ranting pohon yang menyala terang.

“Vi… apa kamu pernah punya masalah berat?” Tanya Taufik tiba-tiba memecah kesunyian di antara kami. Hening kembali.

“Kenapa?” sahutku akhirnya.

"Rasanya…saya ingin sekali pergi jauh untuk menghindari masalah ini. Saya lelah dituntut untuk berbuat sesuatu di luar kemauan saya. Saya selalu dipaksa menuruti kehendak orang tua dan keluarga. Mentang-mentang saya anak tertua, saya di paksa untuk menikah dengan gadis pilihan orang tua saya, padahal orang itu tidak sesuai dengan yang saya harapka. Tidak berjilbab pula.” Aku masih asyik menyimak tanpa member komentar.

Sedangkan saya…., saya masih ingin melanjutkan study Vi. “Kamu ingin komentar saya Fik? Pergi saja ke Ambon,” ucapku se kenanya.

Aku tidak ingin percakapan ini berlangsung lebih lama. Bisa-bisa malah menimbulkan perasaan yang aneh-aneh, mengingat Taufik termasuk orang yang pendiam dan tertutup. Ia terdiam. Ku lihat ia mengerutkan keningnya sambil memainkan lembaran-lembaran buku di tanganya. Kali ini aku tudak memandang melalui layar monitor. Ya, aku duduk menghadap ke arahnya, membuktikan bahwa aku telah menjadi pendengar atas keluhannya. Dan tiba-tiba, byar! Lampu kembali menyala. Ruangan kembali terang benderang. Sesaat aku sadar, kemudian dengan sigap membalikkan tubuh ku kembali menghadap monitor.

"Horee… nyala!" Sorakku.

“Vi, biar saja nanti saya yang mengerjakan. Lagi pula sudah maghrib. Kalau mau di ulang lagi,bisa sampai jam berapa? Nggak baik akhwat pulang terlalu malam."

 Duh, lagi-lagi penuh perhatian. “Tapi di luar masih hujan….”

"Kamu bawa payung?"

Aku menggeleng.

"pakai payungku saja. Kebetulan saya bawa. Nih,” Ia menyodorkan payung biru bermotif kembang-kembang kuning.

“Saya duluan, nggak apa-apa?” ia mengangguk yakin.

“Maaf, kalau saya merepotkan. Seharusnya ini kan sudah menjadi tugas saya.” Saya juga terlalu ceroboh, kenapa lupa ngesave.

” Ya sudah, hati-hati, ya….!” Itu ucapan terakhir yang ku dengar sore itu.

Setelah mengucapkan salam, aku bergegas menembus hujan yang tetap mengguyur bumi. Maafkan aku,Taufik.

*************

Otakku kembali berfikir tentang keadaan Taufik saat ini. Sudah satu bulan setelah pleno, ia tidak lagi muncul di kampus. Tugas-tugasnya sebagai ketua BEM menumpuk di pundakku kini. Belum lagi ulah para penggemarnya yang selalu bertanya banyak hal. Memangnya aku inangnya Taufik?

“ Aviii….! Telepon buat kamu lagi. Ini sudah yang kesebelas. Mau di terima lagi nggak?” teriakan Fitri mengagetkan lamunan ku.

“Nggak.”

“Tapi ini dari cowok.”

“Pokoknya nggak! Titik!” Sekilas ku dengar Fitri berbicara.

“Avi, ini tentang Taufik. Katanya ada kabar baru!”

Aku kaget luar biasa. Aku seperti melayang, dan jantungku berdebar kencang. Taufik ? “Diterima nggak?”

“Iya, sini. Biar aku terima.” Aku bergegas bangkit dan beranjak menuju meja telepon.

“ Hallo, Assalamu’alaikum…!”

“Wa’alaikumussalam. Ini Avi? Ini aku Amin. Aku hanya ingin mengabarkan bahwa Taufik……,” suara di sana terdengar melemah. “Ada apa dengan Taufik? Dimana dia?”

“Alhamdulillah…. Taufik kini masuk dalam jajaran syuhada di medan jihad Ambon.”

“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un…” perkataan Amin membuat seluruh tubuh ku lemas. Tak ku sangka Taufik mengikuti saran ku yang asal-asalan itu, padahal aku hanya sekedar ingin menghindar percakapan yang bisa melenakan hati.

“Hallo, Avi… kamu masih di situ?” Hanya isak tertahan yang keluar dari mulut ku. Tangan ku gemetar, badanku terasa kaku mendengar berita yang satu ini. Bumi yang ku pijak serasa berhenti berputa, tak percaya dengan apa yang baru saja ku dengar.

“Avi!Avi!” Amin masih memanggil ku dari seberang.

“Alloh…, Taufik….,” ucapku lemas. Horn yang ada di tangan ku terlepas begitu saja. Aku tergugu.

**************

Suara tetesan hujan masih turun satu-satu di atas atap. Sesekali ku dengar desahan angin menghempas daun-daun di luar jendela di iringi dengan suara ranting basah. Jangkrik yang biasanya ramai bernyanyi kini membisu, sebisu hati ku yang sepi. Hampa. Seakan mengerti akan hati ku yang basah. Pandangan ku tak lepas dari langit-langit kamar, kemudian beralih kepada payung biru ber motif bunga- bunga kuning yang ku gantung di dinding. Payung peninggalan Taufik yang terakhir. Aku belum sempat mengembalikannya sejak sore itu.

“Ach….,” desahku pendek.

Batinku yang masih terguncang,masih juga belum mampu menerima berita yang ku dengar siang tadi. Sekilas teringat kembali bayangan kejadian sore terakhir bersamanya. Kamu ingin komentar ku Fik? Pergi saja ke Ambon. Kata-kata terakhir itu masih terngiang jelas di telingaku. Aku megucapkannya tanpa memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku… Maafkan aku,Taufik… maafkan aku. Kriiing!!! Jam weker di atas meja Olympic mengagetkanku. Jam 02.00 dini hari. Kutekan tombol di belakangnya agar tidak terus berbunyi. Aku menarik napas panjang. Mataku belum mau terpejam, hati ku masih juga di hantui penyesalan yang mendalam.

Seandainya kata-kata itu tak ku ucapkan… “Astaghfirulloh….! Ampuni aku, ya Alloh.” Aku ber istighfar, menenangkan hati ku yang terus galau. Suara detik weker se irama dengan detak jantungku yang berdebar tak karuan. Aku mencoba bangkit dari dipanku yang sudah agak tua. Kepalaku terasa pening. Mataku sembab karena tak kuasa menahan tangis sepanjang sore tadi. Tak ku hiraukan panggilan Rina yang berkali-kali mencoba menghiburku dari luar. Pintu kamar ku ku kunci dari dalam, biar tak ada seorang pun yang mengganggu kesedihan ku ini. Aku sendiri heran, mengapa aku merasa begitu terpukuldan membiarkan hatiku terlena oleh kesedihan ini. Apakah aku….. tidak! Jangan sampai virus itu menyebar di hati ku. “Astaghfirulloh….!” Kembali aku ber istighfar untuk, kemudian ku angkat tubuh ku beranjak menuju kamarmandi di belakang rumah. Aku harus menghibur diri ku sendiri dengan ‘curhat’ kepada Yang Maha Kasih. Udara terasa semakin dingin.

*************

Ku usap wajah ku se usai mengucap kan salam. Mataku basah. Aku termenung, sesaat kemudian ku angkat kedua tangan di balik mukena putih ku. “Ya Alloh…apa yang telah terjadi dengan hamba? Wajarkah jika hamba mengagumi ciptaan –Mu yang agung? Salahkah bila hamba mengharap sesuatu yang belum sepantasnya hamba dapatkan?” aku memulai pengaduan ku. “Alloh…! Hamba hanyalah segelintir makhluk dari sekian banyak makhluk yang telah Engkau ciptakan dengan sepurna. Hamba hanyalah seorang hamba yang punya cita, harapan dan cinta. Cita… untuk mendapatkan maghfirah Mu agar dapat mencapai surga-Mu. Harapan… untuk bisa meninggikan kalimat-Mu. Dan cinta…” Aku terdiam agak lama. Malu rasanya mengucapkan kata yang satu ini. “Cinta… hamba tahu, hanya ada satu cinta, yaitu cinta-Mu yang agung.” Kurasakan kain putih di tangan ku semakin basah. “Tapi… mengapa mesti ada cinta lain yang ters bermain di dalam hati ku, ya Alloh? Salahkah hamba bila mengharapkan apa yang menjadi harapan hidup hamba demi masa depan hamba? Harapan yang di dasarkan atas cinta-Mu, ya Alloh? Harapan yang menjadi sunnah-Mu dan sunnah Rosul-Mu?” Tubuhku semaki terguncang, tak kuasa menahan tangis. Samar-samar kudengar di luar sana hujan sudah mulai mereda. Hanya desir angin menghempas daun jendela yang mendengar keluh-kesahku mala mini. “Ya Alloh… hamba telah khilaf. Ampuni hamba-Mu yang telah lancang mengotori cinta-Mu yang Maha Suci. Jangan biarkan cinta it uterus menyebar di dalam hati dan pikiran ku, karena… hanya ada satu cinta. Cinta kepada –Mu…” Aku membenamkan wajah ku ke dalam telapak tangan yang gemetar. Ku biarkan kalimat demikalimat mengalir dari dasar hati ku yang paling dalam. Di sini, mala mini, aku ingin menangis sepuasnya. “Hapuskanlah cinta itu ya Alloh… karena hamba tak mampu menghapuskannya tanpa bantuan-Mu. Namun, jangan Kau hapuskan cinta hamba kepada-Mu. Hamba ingin senantiasa berada dalam pelukan kasih –Mu. Aghitsny …. Ya Alloh..” Aku masih terus menangis untuk beberapa saat yang lama. Hatiku merayu rindu Kasih ku pada-Mu syahdu Munajat hamba pada-Mu Mengharap kasih sayang-Mu… Ah…

*************

Hujan tadi malam membuat udara pagi ini dingin. Ku kenakan sweater merah kebesatran ku yang berukuran tripel L agar terasa hangat, kemudian melangkah keluar dan menapak di atas jalan ber kerikil. Ku hirup udara pagi ini, dan mengeluarkannya pelan-pelan. Ragu aku melangkahkan kaki melewati gerbang kampus yang ber cat krem muda. Kurasakan beberapa pasang mata menatap tajam kea rah ku. Aku menoleh benar dugaan ku. Uti dan teman-temanya tengah memandang sinis kea rah ku. Aku bergegas berlalu dari hadapanya sebelum terjadi perdebata panjang. Mataku mencari-cari sosok Amin. Aku melangkah cepat di atas koridor kemudian membelok di tikungan depan menuju secretariat BEM yang sudah seminggu ini tak penah ku kunjungi. Yah, tentulah tugas-tugas sudah menumpuk. Banyak program yang harus di lakukan pada bulan ini. Semoga Amin ada di sana. Ku letakkan tas di atas meja sesampainya di ruangan yang ku tuju dan menghampiri lemari pusaja, tempat aku menyimpan arsip-arsip. Jam yang tergantung di dinding menunjukkan pukul 08.20. Di ruangan ini tidak ada siapa-siapa. Sepi! Lima menit lagi Elfi datang. Biasanya aku memang memintanya untuk menemaniku di saat hatiku sedang bête. Butuh tausiyah. Aku sendiri menyesal, kenapa sore itu, saat terakhir bersama Taufik, aku tidak meminta Elfi untuk menemaniku. Pintu lemari arsip kubuka dan aku mulai untuk membenahi isinya yang sudah berdebu. Satu demi satu buku-buku kupisahkan dengan lembaran-lembaran lain. Setelah itu aku aku mulai menyusunnya kembali. Begitu pula dengan surat-surat masuk lainnya. Namun tiba-tiba mataku tertuju pada selembar amplop putih bertuliskan untuk Avi’. Surat dari siapa? Kuteliti lagi surat tersebut.warnanya putih dan sudah agak kusam karena debu.sejenak aku menghentikan kegiatanku dan beranjak menuju meja. Perlahan dan hati-hati kubuka sampul amplop yang tidak melekat dengan rapat itu. Sekilas kulihat sebuah nama di belakang kertas surat tersebut.Taufik. Dari Taufik? Aku seakan tak percaya. Belum lagi selesai kubuka surat tersebut, elfi sudah muncul di depan pintu.

“Assalami’alaikum. Dari tadi Vi?” Tanya Elfi.

“Walaikummus salam. Ah, enggak. Baru, kok,” Jawabku gugup sambil buru-buru menutup kembali surat di tanganku. Surat itu ku masukkan kedala saku tas depaanku.

“surat dari siapa, Vi?” “Ah, engga. Bukan apa-apa. Bantu aku merapikan ruangan ini, ya?”

“Oke, bos!” Tak sabar aku melangkah pulang ke kostku yang terletak agak jauh dari kampus.

Tah kuhiraukan angin yang bertiup, mengantarkan debu dan asap knalpot menghampiri wajahku yang berlumur keringat. Benarkah surat itu dari Taufik? Kapan ia menulisnnya? Kira-kira apa, ya, isinya? Apa yang ia ingin katakanan kepadaku lewat surat itu? Kepalaku dipenuhi tanda Tanya. Sepertinya di hadapankuterpampang huruf besar-besar berurutn, yakni T-A-U-F-I-K, seperti yang tertera pada kertas itu. Rasa penasaranku mengalahkan rasa lapar yang sedari tadi menggiggit-gigit lambung. Aku jadi lupa untuk mampir di warung Mbok Miem. Kuraih tas yang tergeletak di sampingku dan merogoh surat yang kuselipkan di saku depanya. Tanganku mulai terasa dingin. Jantungku kembali berdegub kencang. Perlahan tapi pasti, kubuka kembali amplop yang tadi telah terbuka setengahnya. Kukeluarkan lembaran yang terlipat rpi. Teruntuk sahabatku:Uhkti Avi Firzayani. Sejak kapan menganggapku sahabatnya. Assalamu’alaikum wr. Wb. Sebelum saya mohon maaf jika sekiranya surat ini mengganggu kegiatanmu. Sebenarnya sore itu aku ingin menceritaka semuanya kepadamu. Tentang masalahku, tentang gosip yang beredar mengenai kita, tentang jabatanku sebagai ketua, juga tentang kepergianku ke ambon. Jadi ternyata benar ia pergi ke Ambon? Tapisepertinya, keadaanya saat itu tidak memungkinkan. Aku maklum, mungkin kamu berusaha untuk menghindariku karena ingin menepis omongan teman-teman tentang keadaanyang rentan’ketua dan sekertaris’aku berusaha untuk memahami hal itu. Tapi entah kenapa sejak kapan, ada sesuatu yang terasa indah bermain-main di hatiku. Aku sendiri terlambat menyadirinya. Mohon dimaafkan jika kata-kata ini tak seharusnya kuutarkan. Sekalilagi aku mohon maaf. Allahu Rabbi, kenapa virus itu juga menular kepadanya? Kurasakan kepalaku mulai berdenyut.beban batin ini terasa semakin berat. Ukhti, saat rasa itu hadir, terus terang aku menjadi bingung untuk bersikap. Saya tak tahu harus bagaimana. Dan pada saat itu saya bersyukur sekali dengan keputusan Ustadz yang bermaksud mengirim saya. Mungkin ini sudah menjadi keputusan yang Allah berikan kepada saya, karena saya merasa saya telah mengotori cinta saya kepada Allah dengan menghadirkan sesuatu yang lain. Padahal saya berusaha utuk menjadi orang yang senantiasa hidup dengan kemuliaan atau mati dalam kesyahidan. ‘isy kariiman au mut syahiidaan.” Jadi, bukan karena aku ia pergi? Kenapa aku jadi ge-er begini? Ah, aku malu pada hatiku. Aku malu, ya Allah! Tak terasa dua butir menetes dari mataku, jatuh membasahi lembar surat di tanganku. Kuhembuskan napas dan kuhirup perlahan, kemudian kembali membaca pada lembaran yang kedua. Tentang kepergianku, sebenarnya sore itu genap satu bulan saya menjalani ‘training’ untuk dikirim ke medan jihad Ambon olem divisi kepemudaan bersama teman-teman yang lain. Jadi saat kamu membaca surat ini, bisa jadi saya sudah tidak lagi berada di bandung. Sengaja surat ini tidak kutitipkan lewat teman,melainkan ku masukan ke dalam lemari arsip, karena aku tau, hanya kamu yang berhak membuka lemari tersebut. Aku menyeka air mata yang terus tumpah. Tubuhku tergumcang. Aku tak tau apa yang kurasakan seperti apa yang kurasakan? Tapi untuk apa? Apa gunanya?toh ia kini telah syahid. “Astagfirullah.” Ukhti, mohon dimaafkan kalau saya terlalu jujur mengungkapkan ini semua. Bukan maksud saya untuk memberikan harapan baru kepadamu. Tapi untuk mengingatkan saya pribadi, juga kamu, bahwa hanya satu cinta, cinta kepada sang khaliq. Cinta yang indah, cinta abadi, bukan sekedar cinta yang semu. Ada satu hal yang yang saya rasa perlu saya sampaikan kepadamu, walaupun sebenarnya itu terutama untuk saya sendiri.saya berharap dengan semua rasa itu kita tidak menjadi orang yang sentimental, lantas meninggalkan semua amanah ini. Saya berharap kamu tetap tegar. Saya yakin kamu memahami akan hal iti. Medan dakwah kita memang menuntun untuk mempersiapkan diri terutama hati ini dengan lebih baik. Saya mohon maaf jika telah mengganggu nuansa hatimu. Sesungguhnya saya pun tak meng hendaki dan tak sanggupmenghilangkannya. Yang saya pahami, bagaimana membingkainya agar tidak menjadi pelanggaran dan kefatalan. Hanya jika ia menetapkan cinta itu untuk Allah, maka Allah akan memberikan balasan kepadanya dengan yang lebih suci. Para malaikat akan senantiasa mendo’akan. Darinya Allah memberikan keturunan yang menjadi penghibur baginya di dunia. Cinta itu menjadi cahaya baginya di dalam kubur.menjadi kebahagiaan baginya di akhirat kelak. Bukankah itu menjadi cita-cita setiap kita? Semog kau dapat mengerti. Selamat berjuang. Semoga Allah menyatukan kita dalam barisan orang-orang yang teguh dalam perjuangan. Maafkan saya. Tsummas salam. Sahabatmu,Taufik Aku tergugu.aku… aku mlu. Aku seharusnya iri kepadanya yang kini telah mendapatkan kemulian-Nya. Sedangakan aku? Menghadapi maut pun aku masih takut. “Ya Allah… terima kasih telah kautunjukan jalanya. Hamba mohon, luruskan dan bersihkan ‘cinta’ itu di dalam diri hamba.” Aku terisak sendiri. Cinta itu fitrah. Jangan kaubunuh cinta itu. Aku jadi teringat kata-kata pujangga kesayanganku. “jika demikian, biarkan cinta ini bersemayam demi cintaku kepada engkau, ya Allah.” Masih dengan terisak, kulipat kembalisurat itu dengan rapi. Kuhembuskan napasku. Ah, Taufik. Akan kuingan pesan ini. Medan dakwah kita memang menuntut untuk mempersiapkan diri,terutama hati ini dengan lebih baik. Kalimat itu terngiang-ngiang di telingaku. Di luar kembali terdengar suara angin berhembus kencang. Cuaca kembali mendung. Dedaunan kering gugur satu per satu, melayang di hempas angin, kemudian jatuh menyapa bumi. “Taufik, kepadamu cinta ini kutitipkan. Cinta yang suci. Cinta kepada sang pencinta .” aku bergumam pelan sambil meletakan kepala di atas bantal. Kukatupkan kedua kelopak mataku.Dalam hatiku, ada sesuatu yang hangat menjalar menyertai aliran darah. Sesuatu yang indah. Sesuatu yang… Allah… Aku terlelap.************* (Karya Isya Setyaningsih)


Share this article with your friends

2 komentar

Anonim 1 Agustus 2013 pukul 11.25

Informative article, exactly what I wanted to find.

Take a look at my homepage; go to slotsforrealmoney.com

Anonim 2 Agustus 2013 pukul 07.53

Hmm it appears liκe your websіte atе mу fігst сοmment (it ωaѕ extremelу long)
so I gueѕs I'll just sum it up what I submitted and say, I'm thoroughly
enjoуing youг blog. Ι аs well
аm an asρіring blog writer but Ι'm still new to everything. Do you have any tips for first-time blog writers? I'd really appreciate it.


My site: accommodations noosa beachfront

Posting Komentar

Jangan berkunjung tanpa meninggalkan jejak.
- No Spam - No Phising - No Live Link
Salam Blogger Indonesia, Silakan Tinggalkan Pesan Agan disini... !!!

Tukar Link



Copy Paste - Copyright by SIC
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://www.santri-indigo.com/" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img src="http://2.bp.blogspot.com/--N-4ALq7hlQ/UzmVq36j58I/AAAAAAAABVI/p-zTAcA9xsI/s150/SI.png" /></a></div>

Bagi yang sudah pasang silahkan tinggalkan komentar