Santri Indigo adalah Komunitas Santri Berbudaya Teknologi yang merupakan kerjasama program CSR PT Telkom Indonesia Tbk dengan HU Republika.
Twitter Facebook Feedburner Google +1 youtube
www.santri-indigo.com
Selamat Datang di Portal Santri Indigo Cilacap
Home » , , » Janjiku Biar Hancur, Tetap Jujur

Janjiku Biar Hancur, Tetap Jujur

Penulis : Unknown | Jumat, 12 Oktober 2012

Aku adalah siswa salah satu SMA favorit di kotaku.Seminggu yang lalu aku baru melaksanakan ujian nasional untuk mata pelajaran matematika, bahasa indonesia, dan bahasa inggris. Jum’at, 28 Maret lalu tepatnya tiga hari sebelum UNAS tiba, kebetulan jam pelajaran terakhir di kelasku kosong. Teman-temanku mengadakan rapat. Ini tidak biasa terjadi. Aku pun menanggapinya dengan cuek. Namun betapa terkejutnya aku mendengar apa yang mereka rencanakan.

“Teman-taman, Senin besok ujian kan, gimana kalau kita semua kerjasama. Aku yakin tidak ada yang tidak ingin lulus,” ujar Ayi di depan kelas.

“Ya. Setuju, setuju,” seru sebagian yang lain.

“Tunggu-tunggu. Tapi semua harus benar-benar kompak. Jangan ada yang nggak ikut”, sambung Opie.

“Eh semuanya, kita buat perjanjian aja. Kalau ada yang berkhianat, kita musuhi dia aja. Kalau perlu kita kroyok dia rame-rame. Gimana, setuju?” tambah Desta.

“Ya, benar. Lagian tega banget sih. Memangnya tidak kasihan kalau tidak ada yang nggak lulus,” ujar Ayi dengan penuh emosi.

“Nah, sakarang ayo kita kumpul ke sini buat merencanakan trik-trik yang akan kita gunakan!” perintah Angga.

Mereka menggerombol jadi satu. Aku terbenggu di bangku. Aku tak mampu berbuat apa-apa. Hatiku penuh dengan amarah. Namun tanganku lamah tak berdaya. Ingin rasanya aku berlari dari kelas yang berisi para pendusta itu, aku seperti di takdirkan untuk jadi saksiatas rencana buruk mereka.

“Ya Tuhan, bencana apa yang akan datang? Kenapa temen-temankujadi buta hati seperti itu. Tidakkah meraka takut kepada-Mu? Lindungi aku dari mereka, Tuhan,” hatiku terus meronta-ronta meminta perlindungan kepada-Nya.

Kelas jadi gaduh ketika setiap anak mulai mengeluarkan pendapatnya.

“Diam, diam, diam!” sentak Angga.

Aku terbelalak. Rasa deg-degan di hatiku bertambah kencang. Dengan berbisik Angga menjelaskan strategi mencontek yang akan digunakan. Tidak begitu oleh telingaku. Setelah itu masing-masing anak kembali ketempat duduknya. Tidak sedikit dari mereka yang menangis. Mereka bukan menangisi perbuatannya, melainkan menangis karena takut tidak lulus. Kini hatiku menjadi iba. Sempat terbisik dorongan untuk bergabung dengan mereka. Namun “Tidak!” hati kecilku menolak. Ini memang berat. Tapi aku harus bertahan. Aku memang sayang pada mereka tetepi aku juga tidak mungkin mengkhianati. Meski nanti mereka akan mengetahui aku sombong , aku akan terima itu. Aku sadar aku bukan anak yang jenius dan aku buka yang terbaik diantara mereka ,tapi aku yakin kalau Tuhan akan memberikan yang terbaik untukku selama aku menjadi orang baik. Bila aku gagal dalam UNAS nanti, itu adalah takdir. Keputusan Tuhan tidak pernah salah. Inilah janjiku. Tiba-tiba Ayi maju kedepankelas.

“Teman-teman, buat kalian yang biasanya pelit untuk berbagi jawaban,laki ini aku mohon banget hilangkan sifat itu sesaat,” kata Ayi.

“Ya. Betul. Sekarang coba pikir. Kita telah bersama hampir tiga tahun. Memang, permusuhan terkadang menghiasi pertemanan kita. Tapi apa mungkin kita tidak sedih jika melihat salah satu diantara kita tidak lulus. Pikir deh!” dukung Angga.

“Teman-teman, kalau ada diantara kalian yang pernah sakit hati gara-gara aku, aku mohon maaf banget. Tolong ya kalian jangan pelit,” pinta Serina dengan wajah karena air mata.

Yang lain jadi ikut-ikutan.

“Sekarang aja kalian bilang begitu. Semua bilang setuju. Tapi aku yakin, khakul, pasti ada yang ngga setuju. Ya nggak?” ujar Bella sambil mencibir pipiku.

Pandangan teman-teman menjadi tertuju padaku. Aku seperti terdakwa.

“La, besok kamu jangan egois. Memangnya kamu mau hidup sendiri di dunia ini. Hidup itu perlu tolong-menolong, “bisik Sera teman sebangkuku.

Perasaanku makin tidak karuan. Semua temanku memojokannku.

“Tet... tet... tet...!”. suara bel seolah-olah membuka kerongkongan bagiku untuk bernapas.

Aku segera menarik sahabat baikku. Vina ke kamar mandi.

“Vin gimana?” tanyaku sambil menangis terisak-isak.

“Apanya yang gimana?” rupanya Vina tidak tau maksudku.

 “Vin, sungguh aku tidak mungkin bekerja sama dalam ujian nanti. Bukan karena aku tidak kasian pada teman-teman, tapi karena aku lebih takut pada Tuhan. Kau tahu kan Dia Maha Tahu, Dia tidak pernah tidur. Ujian adalah benih yang menentukan masa depan kita. Kalau kita tanam benih dengan cara yang haram, maka buahnya juga tidak baik. Apa gunanya kita berdoa pada Tuhan kalau akhirnya kita melakukan kecurangan. Lagi pula kalau kita ketahuan mencontek akan berakibat buruk bagi sekolah kita. Vin, aku bingung. Di satu sisi aku tidak ingin dimusuhi terus oleh teman-temanku karena aku pelit dalam hal contek-mencontek. Tapi di sisi lain, aku juga tidak ingin mendustai Tuhan,” terangku.

“La, jujur. Aku juga demikian. Tpi mau apalagi?” ujar Vina beriring isak tangis.

Senin , 1 April. Hari ujian pun tiba. Rasa deg-degan mendekap jantungku. Rasa ingin menangis pun ada dan rasa ingin marah pun juga ada. Semua rasa berkecamuk di kalbu. Pemandanga tidak sedap menyambut kedatanganku di sekolah karena dari kejauhan tampak teman-temanku berebut bocoran jawaban ujian yang tidak terjamin kebenarannya. Sempat rasa was-was menggoda hatiku. Aku takut jug bocoran itu benar.

“Oh Tuhan, jangan biarkan kejahatan itu meraja,” pinta hatiku.

“Dear...!!!”. Aku terkejut.

“Pagi-pagi kok sudah melamun?” tegur Bilbina sambil berlalu di depanku.

“Na. tunggu ..!”. Ku kejar Bilbina.

“Aku minta maaf ya,” kataku.

“mamf buat apa?” tanya Bilbina keheranan.

“Soalnya aku tidak mungkin memberi contekan di saat ujian nanti,” jawabku.

“Karena aku lebih takut pada Tuhan,” tambahku.

“Ya ampun La, biasa aja. Lagipula aku juga tidak akan menyontek,” terang Bilbina.

Aku sedikit lega mendengar pernyataan Bilbina.

Ujian Nasional memang telah berakhir, namun belum untuk ujian imanku. Kemarin pagi guru matematikaku memberi tahu mengenai perkiran jawaban soal ujian. Betapa terkejutnya aku. Karena pada saat di cocokan dengan perkiraan jawaban itu aku hanya salah 10 dari 60 soal. Dengan bercucur air mata, aku bersimpuh memanjatkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih. Namun tiba-tiba

“La, kamu tidak boleh begitu. Lihat dong, teman-teman sedang bersedih. Kamu tega banget sih,senang- senang di atas penderitaan orang lain,” tegur Opie.

 Aku tersentak. Aku lihat sekelilingku. Tampak teman-temanku menangisi kegagalannaya. Aku terdiam. Pikirenku mulai melukis, menerangkan segala yang terjadi. Rasa ngeri menyerang hatiku. Tuhan, sungguh besar kuasa-Mu. Inikah bencana dari-Mu? Ya Tuhan, sadarkanlah mereka dengan musibah ini. Saat itu ku rasa hatiku semakin yakin akan kekuasaan-Nya. Pandanganku kini terbeku pada sosok yang begitu akrab dengan hari-hariku. Dialah Vina. Tampak di mataku dia tengah menangis di salah satu pojok ruangan dengan ditemani oleh Sera. Kemudian aku berjalan mendekati mereka.

“Vin, kamu kenapa?” tanyaku dengan lembut.

Namun Vina tidak menyahut.

“Vin, kamu itu anak baik. Selama ujian saja kulihat kamu tudak menyontek. Jadi, aku yakin Tuhan akan menolongmu. Percayalah, kamu pasti lulus,” kataku menghibur.

“La, kamu jangan memujiku seperti itu.” ujar Vina dengan wjah tertutup sapu tangan.

“Aku tidak sedang memujimu tetapi aku sedang bicara kenyataan,” bantahku.

“Vin, Ser, dengarkan aku baik-baik. Lulus atau tidaknya kita nanti itu adalah keputusan Tuhan. Dan kalian harus percaya kalau keputusan Tuhan itu tidak pernah salah. Tidaklah mengapa kita di dunia gagal, yang penting di akhirat jangan. Tetaplah jaga iman kalian karena masih ada esok yang perlu kita pertanggungjawabkan. Kebahagiaan di dunia itu semu, tidak abadi. Jadi janganlah kalian halalkan segala cara untuk mendapatkannya. Kalau kalian merasa telah berusaha sekuat tenaga dan juga telah berdoa, kini saatnya kalian pasrahkan semuanya kepada Tuhan. Selama usaha dan doa kita baik. Tuhan juga pasti akan memberikan yang terbaik untuk kita,” lanjutku panjang lebar. Siang itu, setelah dari kafe aku dan Vina memasuki kelas.

Aku merasa heran karena marasakan kelas yang penuh penghuni itu sepi. Betapa tertegunnya aku melihat tatapan teman-teman yang memandangku dengan penuh kebencian.

”La, kamu dapat nikai matematika berapa? Sembilan, sepuluh, atau sebelas?” tanya Serina dengan juteknya.

 “Hahahaha...,” teman-teman yang lain menertawakannya.

“Diam...!!! kalian jangan ada yang tertawa. NGGAK LUCU..!!” bentak Serina.

Aku mendekati tempat duduknya. Saat aku hendak duduk, tiba-tiba.......,

“PENGHIANAT..!!!” sentak Opie.

Sementara itu aku di kamar mandi aku menangis. Aku sangat ketakutan. Perasaanku tidak karuan.

“Oh Tuhan, tolong aku. Lindungi aku dari mereka", kata-kata itu berkali-kali ku ucapkan.

Tiba-tiba ada kekuatan besar merasuki diriku. Bersama itu hilanglah rasa takut yang menderaku. Dengan kekuatan itu aku kembali ke kelas. Semenjak hari itu rasa kesal membalut hatiku. Tidak ada sedikitpun rasa sesal di hatiku meskipun teman-teman menjauhiku. Aku justru bersyukur dan bangga karena aku tidak buta dan bersekutu dengan mereka. Meski kini hasil ujian belum tampak, namun aku yakin bahwa sampai kapanpun amal baik yang bersumber dari hati yang di balut erat oleh keimanan kepada Tuhan akan selalu memberikan hasil yang terbaik.

(Karya Setyo Yuliono)


Share this article with your friends

Posting Komentar

Jangan berkunjung tanpa meninggalkan jejak.
- No Spam - No Phising - No Live Link
Salam Blogger Indonesia, Silakan Tinggalkan Pesan Agan disini... !!!

Tukar Link



Copy Paste - Copyright by SIC
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://www.santri-indigo.com/" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh4X8slxtycBYdn18VtsohXTzJQmwJhkNtRDtbbJv7tnt5dqou5BIn6OIdm1e3Ql3YM9ZSckUHsSXwpPacPxnw067WXUa7S3TWTDVRYOVwdV5Jwi8aLdKMMMZrX3WtykfUBqAwhWBc3DtA/s150/SI.png" /></a></div>

Bagi yang sudah pasang silahkan tinggalkan komentar